PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Permasalahan korupsi yang melanda
negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai
fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan
jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal
yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite.
Banyak kasus korupsi yang sampai
sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah satunya adalah kasus korupsi
yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan IIIA, yang sempat
menggegerkan Mabes Polri, Gayus Tambunan. Keterkejutan semua orang terhadap apa
yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal yang wajar. Karena
apabila kita melihat dari statusnya yang hanyalah seorang pegawai negeri biasa,
tetapi memiliki tabungan yang begitu banyak, senilai Rp. 25 Miliar, tentu saja
hal ini mengundang tanya: Apalagi kalau bukan korupsi? Padahal, pekerjaan Gayus
sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan
badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Mengingat gaji pegawai pajak
setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara Rp 1.655.800 sampai Rp
1.869.300 per bulan, hal ini menegaskan bahwa seorang Gayus Tambunan pasti
telah melakukan kecurangan yang dapat merugikan Negara dan masyarakat banyak.
Seperti yang telah diberitakan oleh
berbagai media bahwa nama Gayus Tambunan mulai mencuat ketika disebutkan oleh
mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji sebagai seseorang yang berkaitan erat
dengan makelar kasus. Susno menyebutkan Gayus memiliki Rp 25 miliar di
rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang disita negara. Sisanya Rp 24,6 miliar
menguap entah ke mana. Susno mengutarakan bahwa ada keterlibatan dari
tubuh Polri sendiri dalam kasus manipulasi pengusutan pajak.
Gayus kemudian dituntut kepolisian
dengan tiga pasal, yakni pasal penggelapan, pencucian uang, dan korupsi. Namun
pada persidangan itu Gayus hanya dituntut dengan pasal penggelapan, divonis
oleh hakim dengan hukuman 1 tahun percobaan, kemudian dibebaskan. Terdapat
berbagai kejanggalan di pengadilan Gayus saat itu, antara lain soal ancaman
hukuman yang ternyata lebih ringan dari ketentuan Undang-Undang, tuntutan dari
jaksa yang hanya berupa tuntutan soal penggelapan uang, serta penggelaran
persidangan yang dilakukan di hari Jumat, di Pengadilan Negeri Tangerang, yang biasanya tidak
digelar persidangan pidana.
Modus
Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan
wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat
Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil
memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus
memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak,
yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya seorang wajib
pajak seharusnya membayar pajak Rp 3 Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu
banding. Di pengadilan pajak itu Gayus memenangkan banding wajib pajak. Selain
itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), diduga modus
Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs Rupiah saat menangani pajak Bumi
Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban
pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu.
Kini
Gayus Tambunan kembali ditetapkan sebagai terdakwa
dan dijerat pasal berlapis yakni korupsi, pencucian uang dan penggelapan. Kasus
Gayus kini melebar dan melibatkan sejumlah pihak. Namanya mencuat kembali saat
dirinya diduga bebas berkeliaran keluar dari rumah tahanan. Gayus Tambunan,
entah mengapa, mendapatkan perlakukan khusus yang sangat tidak masuk akal.
Perkembangan
terkini dari penanganan kasus korupsi Gayus
Tambunan semakin membuat masyarakat jengah. Gayus Tambunan sebagai tersangka
korupsi seolah-olah memiliki kuasa sahingga dia selalu mendapatkan perlakuan
istimewa. Terakhir, dia kembali mendapatkan perlakuan istimewa di depan hukum,
yaitu kepolisian hanya menjeratnya dengan pasal gratifikasi, di mana dia hanya
dapat dihukum maksimal 3 tahun penjara. Dalam berbagai perkara yang pernah ada,
seseorang yang terjerat pasal gratifikasi sering lolos dari jeratan hukum. Hal
ini kemudian menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak
hukum dalam menangani kasus Gayus. Oleh karena itu masyarakat banyak yang
mendesak agar kasus Gayus ditangai oleh KPK. Akan tetapi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri tetap menegaskan
bahwa kasus Gayus tetap ditangai oleh Polisi. Padahal, telah jelas terlihat
bahwa Kepolisian sendiri tidak serius dalam menangani kasus korupsi Gayus
sehingga menyebabkan kasus ini tidak menemui ujungnya.
Hal ini
kemudian menjadi pertanyaan penting bagi kita semua.
Ada apa dengan negeri ini? Mengapa korupsi tetap saja dapat berjaya dan
bersemayam di tubuh semua lembaga, bahkan di lembaga yang seharusnya memiliki
kewajiban untuk memberantas korupsi itu sendiri. Ini menjadi tantangan bagi
bangsa dan Negara dalam mengatur dan menata kehidupannya.
2. Masalah
Pertanyaan
yang penting untuk dijawab di sini adalah bagaimana bisa muncul suatu penyakit,
yaitu korupsi. Mengapa dia menjadi benalu yang tidak pernah lepas dari
kehidupan berbangsa dan bernegara? Bahkan korupsi telah menjamah semua kalangan
di dalam masyarakat. Yang lebih memprihatinkan adalah korupsi terus bersarang,
dan sarangnya semakin besar, di kalangan atas, para elite, pejabat, dan
pemimpin yang memiliki kuasa dalam mengatur kesejahteraan masyarakat umum.
Mengapa
korupsi bisa terjadi? Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, melihat keterkaitan
korupsi dengan kekuasaan, tindak kejahatan korporasi dan birokrasi, adalahhal
yang akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan masalah dalam makalah ini terletak
pada kasus korupsi yang dilakukan oleh kalangan atas, para elite, pejabat dan
petinggi Negara semakin serius sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi Negara
dan masyarakat.
3. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk
memahami mengapa munculnya suatu tindakan korupsi dalam sebuah kekuasaan, bahkan dalam praktek-praktek penegakan hukum
sekalipun. Selain itu, dengan pembahasan dalam makalah ini, diharapkan juga
dapat diketahui apa-apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan
korupsi di kalangan atas, para elite, dan pejabat pemerintah.
Landasan Teori
Dalam melihat hubungan antara korupsi,
kekuasaan, dan kejahatan korporasi dan birokrasi ini, akan dibahas pengertian
beberapa kerangka teoritik berikut:
- Korupsi
Secara etimologi, kata korupsi berasal
dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang merupakan kata sifat dari
kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan (com memiliki
arti intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti
merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah
arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang
dilakukan secara intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata corruption diartikan
sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc.,
esp. by bribery.
Sejatinya, ada begitu banyak pengertian
dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli. Huntington (1968)
memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyimpang
dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini
Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan
jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Korupsi
juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk
keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak
mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini maksudnya
adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi, politik, dan
sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan
peran. Selain itu, korupsi juga dapat dikatakan sebagai representasi dari
rendahnya akuntabilitas birokrasi publik
Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and
political development” mendefiniskan korupsi sebagai prilaku yang menyimpang
dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi
otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti
kekayaan, kekuasaan dan status.
Amin Rais, dalam sebuah makalah
berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993, membagi jenis korupsi
menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive
corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang
terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas
hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan
sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan
terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran
rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption),
yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi
pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh
keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur,
menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak
tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya dapat merugikan
masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic
corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga:
anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon.
Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan istri
sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive
cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan
oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.
- Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa
sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari oang
yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan
sosial dan dalam semua organisasi sosial.
Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk
mengedalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan member
perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan
cara yang tersedia. Kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida,
yang disebabkan oleh kekuasaan yang satu menegaskan dirinya lebih unggul
daripada yang lain. Piramida kekuasaan ini menggambarkan kenyataan bahwa dalam
sejarah masyarakat golongan yang berkuasa dan yang memerintah itu relatif lebih
kecil dari pada yang dikuasai.
Kekuasaan politik adalah kemampuan
untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya mamupun
akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri.
Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, dan fokusnya
ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk
mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan.
- White-collar crime
Pengertian dasar dari konsep white-collar
crime yang dikemukakan oleh Sutherland adalah untuk menunjuk tipe pelaku
dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur
pekerjaanya” (Sutherland, 1949: 9). Orang dari kelas sosial ekonomi ini,
menurut Sutherland, adalah mengacu kepada orang-orang yang berada di kelompok orang-orang
terhormat.
Atas dasar pengertian di atas, tindakan
kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan peracunan tidak dapat
dikategorikan sebagai white-collar crime meskipun kejahatan itu
dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi karena tindakan itu
tidak memiliki kaitan dengan pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan oleh
penjahat yang kaya, misalnya kecurangan dalam perjudian, yang memiliki kaitan erat
denganpe pekerjaannya, juga tidak dapat dikateogrikan sebagai white-collar
criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk dalam golongan orang
terhomat.
White-collar yang dimaksudkan oleh Sutherland adalah mereka yang
merupakan orang-orang terhormat. Istilah itu merupakan istilah yang awalnya
digunakan oleh Sloan, Direktur General Motors dalam bukunya The
Autobiography of a White Collar Worker, yang memiliki arti lebih luas. White-collar
menunjuk kaum peneruma gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam
pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para
asistennya.
Pelanggaran-pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh orang-orang terhormat ini biasanya berupa pemanfaatan wewenang
untuk kepentingan pribadi, biasanya dalam usaha untuk mempertahankan jabatan
atau memperoleh kekayaan. Terkait dengan hal ini, sistem keuangan negara yang
berlaku di negeri ini merupakan lahan yang subur bagi praktik-praktik yang
demikian. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi mesin utama
bagi negara dalam menghasilkan dana juga membuka kesempatan terjadinya
kejahatan oleh kerah puitih. White-collar crime dalam bentuk kejahatan
korporasi tercatat terjadi di bidang yang berhubungan dengan perlindungan
konsumen, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan (Illegal loging).
Terdapat dua kategori kejahatan dalam
dimensi white-collar crime, menurut Clinard dan Quinney (1973), yaitu occupational
criminal behavior dan corporate criminal behavior. Dalam menjabarkan
cirri-ciri occupational crime behavior, Clinar dan Quineey merujuk
kepada rumusan tipologi oleh Bloch dan Geis (1970), yaitu perbuatan yang
dilakukan:
- Oleh
individu sebagai individu (misalnya pengacara, dokter);
- Oleh
pegawai terhadap majikannya (misalnya kasus penggelapan);
- Oleh
pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan (kasus monopoli);
- Oleh
agen korporasi terhadap kepentingan umum (misalnya iklan yang menyesatkan)
- Oleh
pedagan terhadap konsumen (pelanggaran konsumen)
Hagan (1989) memberikan tipologi white-collar
crime yang berangkat dari tipologi yang diutarakan oleh Edelhertz,.
Tipologi oleh Edelhertz adalah sebagai berikut:
-
Kejahatan oleh orang-orang yag bekerja secara individual dan sementara (ad
hoc), misalnya pelanggaran pajak, penipuan kartu kredit, penipuan
kebangkrutan dan lain-lain;
-
Kejahatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang sah) ileh orang yang
mengoperasikan bisnis internal, pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam
bentuk pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap majikan dank
lien, misalnya penggelapan, pencurian, penggajian pegawai palsu;
-
Kejahatan yang sesekali dilakukakan dalam rangka memajukan usaha bisnis,
misalnya pelanggaran antimonopoli, penyuapan, pelanggaran peraturan makanan,
dan obat-obatan;
- White-collar
crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas utama. Konsep ini termasuk
dalam bahasan kejahatan professional, misalnya penipuan layanan pengobatan dan
kesehatan, undian palsu, dan sebagainya.
Ketentuan tipologi yang pertama dan
kedua adalah bentuk kejahatan yang dijalankan oleh individu, sedangkan
ketentuan yang ketiga dan keempat merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan
oleh organisasi.
- Kejahatan
Korporasi
Kejahatan korporasi tidak dapat dilihat
sebagai tingkah laku yang dilakukan oleh orang, tetapi harus sebagai tingkah
laku organisasi yang kompleks. Kejahatan korporasi dapat dipahami melalui teori
organisasi untuk menjelaskan bagaimana korporasi sebagai organisasi yang secara
kodrati khas, yaitu organisasi berskala besar melakukan tingkah laku yang
melanggar hukum. Strtuktur dari organisasi korporasi ini sangat luas sehingga
menopang keadaan yang mendorong terjadinya penimpangan oleh organisasi,
disebabkan oleh menyebarnya tanggung jawab secara luas. Kodrat tujuan korporasi
untuk mendapatkan keuntungan yang merupakan ciri iklim sosial industry dapat
mendorong tindakan pelanggaran hukum dan tindakan yang mendekati pelanggaran
hukum.
Di dalam korporasi, terdapat jenjang-jenjang yang
memungkinkan setiap jenjang tersebut memiliki sikap tidak bertanggung jawab
(pelembagaan sikat tidak bertanggung jawab). Hal ini menyebabkan korporasi
bekerja dan memiliki fungsi seperti tirai, yang membolehkan setiap orang di
dalamnya tidak tersentuh oleh moral maupun hukum. Dari situasi seperti inilah
kejahatan korporasi hampir dapat terjadi. Mereka, eksekutif korporasi, dapat
mengelak dari tanggung jawab dengan dalih bahwa cara-cara tidak sah dalam
mencapai tujuan korporasi yang dirumuskan secara umum sdah merupakan sarana
yang tersedia tanpa dapat dikendalikan.
- Differential
Association.
Differential Association adalah sebuah teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan
kejahatan sebagai perilaku yang dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh
Sutherland ini, berkeyakinan bahwa perilaku menyimpang disosialisasikan melalui
sebuah cara yang kurang memiliki perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama
halnya dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang disosialisasikan
melalui interaksi sosial dan ketaatan, begitu juga dengan kejahatan dan
perilaku menyimpang.
Sutherland memberikan 9 prinsip dari teori Differential
Association, yaitu:
1) Kejahatan dan perilaku
menyimpang itu dipelajari
2) Kejahatan dan perilaku
menyimpang itu dipelajari dalam sebuah interaksi dengan orang lain melalui
proses komunikasi
3) Belajar menjadi jahat
terjadi di dalam primary group (keluarga, teman, teman sepermainan atau
sahabat paling dekat)
4) Belajar menjadi jahat
termasuk juga di dalamnya untuk belajar mengenai teknik, tujuan, rasionalisasi,
kebiasaan dan sikap sehari-hari.
5) Arah khusus dari tujuan dan
sikap itu dipelajari dari definisi situasi yang menguntungkan dan tidak
menguntungkan.
6) Seseorang menjadi penjahat
apabila di dalam dirinya ada pertimbangan bahwa dengan melanggar hukum akan
mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada tidak melanggar hukum.
7) Differential association
bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.
8) Proses belajar menjadi
jahat itu melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam pembelajaran lainnya.
9) Meskipun perilaku kejahatan
(kriminal) adalah ekspresi dari kebutuhan umum dan sikap, perilaku kriminal dan
tujuannya tidak dijelaskan atau dimaafkan oleh kebutuhan dan sikap sama,
sedangkan perilaku non-kriminal dijelaskan oleh kebutuhan umum dan sikap sama.
PEMBAHASAN
Korupsi tidak akan pernah bisa kita
pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, pasti ada
korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang menjadi
“pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan dan korupsi yang
selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan hakikat dari
pernyataan yang disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “ Power tends to corrupt, and absolute power
corrupt absolutely.
Terdapat sebuah postulat yang
mengatakan bahwa korupsi selalu mengikuti watak kekuasaan. Dalam artian bahwa
korupsi itu ada baik di pemerintahan yang sentralistik maupun desentralistik.
Jika pemerintahan suatu negara adalah sentralistik, korupsi juga akan bersifat
sentralistik. Semakin kuat kekuasaan itu tersentral, semakin besar pula terjadi
kasus korupsi di kekuasaan pusat tersebut. Di Indonesia, hal ini terjadi pada
masa Orde Baru. Sebaliknya, jika pemerintahan suatu negara adalah
desentralistik, misalnya dengan Otonomi Daerah, tindakan korupsi akan tersebar
pula mengikuti pola pemerintahan desentralistik tersebut. Dengan kata lain,
praktek korupsi juga terjadi di pemerintahan tingkat daerah. Karena kekuasaan
berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom,
korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak
pusat kekuasaan. Situasi seperti ini terjadi pada masa sekarang di Indonesia.
Sesuai dengan definisinya, korupsi
sebagai prilaku yang menyimpang merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan
etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam posisi otoritas publik
(penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau
wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak memiliki kuasa,
kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan
bagi manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling
utama dari korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan
keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh
paling mudah adalah seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya
untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia
memiliki kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas.
Dia melakukan tindakan tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Melihat konteks kasus-kasus korupsi
yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan korupsi serius yang
merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga tidak
lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah dengan sengaja
menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan melanggar hukum untuk
kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki
wewenang) secara otomatis memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan
dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu
mengendalikan tingkah laku manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar
supaya masyarakat bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini,
setiap kebijaksanaan yang diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan
atau aturan yang sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari
sini lah peluang untuk terjadinya tindakan korupsi besar sekali.
Mengacu pada kasus korupsi Gayus
Tambunan, dapat dijelaskan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh Gayus itu
dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan dan wewenang. Seperti yang
kita ketahui bahwa Gayus bekerja di kantor pusat pajak, memegang jabatan
sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi yang demikian
sangat memudahkannya untuk memanipulasi data, mempengaruhi suatu kebijakan
sehingga ia dapat meraup keuntungan yang besar untuk dirinya sendiri. Menurut
sumber Media Indonesia, modus Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan
wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat
Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil
memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus
memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak,
yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya seorang wajib
pajak seharusnya membayar pajak Rp 3 Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu
banding. Di pengadilan pajak itu Gayus memenangkan banding wajib pajak. Selain
itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), diduga modus Gayus memanipulasi
pajak dengan bermain kurs rupiah saat menangani pajak Bumi Resources tahun 2002
- 2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga
US$ 164,627 ribu . Dari perkara-perkara seperti inilah Gayus berhasil
mendapatkan keuntungan tersebut. Dia memiliki kepintaran dan kelihaian yang
merupakan ‘senjata’ dari sebuah kekuasaan dan kewenangan.
Manusia memiliki sifat dasar untuk
terus mengonsumsi, atau paling tidak memenuhi kebutuhan pokoknya. Oleh karena
itu, besar kemungkinan tuntutan-tuntutan pribadi tetap membayangi manusia di
dalam melaksanakan kewajibannya, yang seharusnya kewajiban itu menuntut
seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan mengutamakan kepentingan umum dan
tanggung jawab. Hal ini pula yang menimpa Gayus Tambunan. Ada kecurigaan bahwa
kasus korupsi, penggelapan dan pencucian uang disebabkan oleh suap yang
dilakukan oleh para pengusaha agar mau memudahkan jalan bagi usaha mereka.
Seperti misalnya ketika Gayus menerima aliran duit sebesar Rp 370 juta. Selain
itu, ada keterlibatan pengusaha bernama Andi Kosasih dalam kasus korupsi Gayus
Tambunan.
Korupsi yang merugikan negara dan
masyarakat banyak biasanya bermula dari penguasa
Kaitan tindakan kejahatan, korupsi,
antara penguasa dan keterlibatan para pengusaha, secara sederhan dapat
diilustrasikan sebagai berikut: penduasa dapat memberikan akses kepada para
pengusaha untuk melakukan eksploitasi rente ekonomi yang merugikan konsumen dan
masyarakat luas. Di lain pihak pengusaha diuntungkan, dan bagian keuntungan
tersebut harus dibayar (diserahkan) kepada pemberi akses tadi, yaitu penguasa.
Ada banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya korupsi, antara lain adalah korporatisme. Korporatisme, dalam
khasanah literature ekonomi-politik, sering disepadankan dengan praktek politik
di mana pemerintah atau penguasa berinteraksi secara tertutup (idak diketahui
oleh masyarakat) dengan sektor swasta besar (pengusaha kelas kakap). Dalam
ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk
kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group) yang terlibat di
dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi yang seperti ini terjadi
secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang memihak
kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya persengkongkolan seperti ini
membuka peluang besar bagi hukum untuk dipermainkan (mafia hukum) sehingga
hukum seorah-olah telah dipegang oleh tangan-tangan tertentu.
Sistem korporatisme akan menimbulkan
ketidakstabilan dan rakyat menjadi pihak yang dirugikan. Dalam prakteknya,
korporatisme biasanya berbarengan dengan praktek-praktek haram lainnya yang
disebut dengan rent seeking (memburu rente) yang dilakukan oleh para elite
penguasa atau pun keluarga di lingkup elite. Rent seeking dalam prakteknya
adalah menjualbelikan jabatan publik yang dimiliki oleh pejabat publik guna
memperoleh kekuntungan ekonomi, yang prakteknya berwatak “koruptif”.
Praktek-praktek seperti ini dapat dilihat jelas pada masa Orde Baru, yang pada
saat itu terjadi distribusi modal yang hanya dinikmati segelintir orang atau
pengusaha (yang umumnya adalah keluarga Soeharto) dan terdapat praktek monopoli
dalam produksi.
Seperti yang disampaikan oleh Amien
Rais tentang empat tipe korupsi, secara jelas bahwa bagaimanapun tindakan
korupsi itu, tidak akan lepas dari apa yang namanya persengkongkolan
(korporasi) antara penguasa (penguasa merupakan pihak pertama yang pada awalnya
membuka akses untuk terjadinya kecurangan) dengan para pengusaha (sektor
swasta, yang berpotensi memberikan rangsangan kepada penguasa untuk membuka
akses kemudahan bagi pelanggaran hukum). Korupsi atau kejahtan korporasi juga
didorong oleh pengaruh hasrat dan ketamakan dari dalam diri seseorang (dalam
hal ini adalah penguasa), serta tuntutan keluarga (korupsi nepotistik).
Prof. Muhammad Mustofa, dalam bukunya
Kleptokrasi, menjelaskan keterkaitan konsep keluaga dalam tatanan sosial
Indonesia dengan tindakan korupsi. Dalam masyarakat Indonesia, keluarga
dimaknai sebagai kelompok yang tidak hanya terdiri dari ayah, ibum dan
anak-anak (keluarga batih), tetapi juga berupa konsep keluarga besar yang
meliputi seluruh kerabat dekat dan kerabat jauh, seperti nenek dan nenek, paman
dan bibi beserta anak-anaknya, baik dari pihak ayah maupun ibu. Dalam tatanan
sosial terdapat suatu tuntutan dan harapan peran agar setiap individu di dalam
keluarga itu bertanggung jawab terhadap anggota-anggota keluaraga besa yang sedang
tidak beruntung.
Pola seperti ini memang memiliki
manfaat yang baik. Konsep keluarga besar ini tersebut dapat dianggap sebagai
mekanisme yang memiliki potensi untuk mengatasi masalah sosial, seperti
pengengguran dan kemiskinan. Namun begitu, konsep keluarga besar seperti ini juga
memiiki potensi yang tak kalah kuatnya untuk mendorong ke situasi yang kondusif
bagi dilakukannya tindakan penyimpangan. Ketika ada tuntutan dan tanggung jawab
yang diemban untuk saling membantu anggota keluarga yang sedang susah,
seseorang berada pada titik di mana dia harus memberikan bantuan materil
(terkadang pemberian pekerjaan). Keadaan seperti ini sama saja dengan “lebih
besar pasak dari pada tiangnya” sehingga individu tersebut harus mencari
tambahan penghasilan untuk menutupi kekurangan tersebut. Hal ini lah yang
kemudian menyebabkan individu sering melakukan suatu tindakan untuk mendapatkan
penghasilan tambahan dengan jalan yang tidak sah, misalnya korupsi.
Korupsi merupakan white-collar crime
Merujuk kepada pengertian white-collar
crime yang menunjukkan suatu tindakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang
terhormat, sesungguhnya kasus korupsi Gayus Tambunan sangat dapat dilihat dari
pisau bedah ini.
Yang pertama sekali harus diperhatikan
adalah kata “orang terhormat” tersebut. Bisa jadi ini dapat menimbulkan
pengertian yang bias tentang status Gayus Tambunan yang hanyalah seorang
pegawai rendahan di kantor pusat pajak. Oleh karena itu, penulis lebih
menekankan pengertian white-collar ini sebagai istilah yang memiliki makna pada
awal kemunculannya, yang digunakan oleh Sloan, yaitu white-collar yang menunjuk
kaum penerima gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya,
seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para asistennya. Dari
sini, Gayus termasuk dalam kategori yang dimaksudkan.
Tipologi dari white-collar crime yang
dibuat oleh Clinard dan Quinney (1973) adalah occupational criminal behavior
dan corporate criminal behavior. Dua tipologi ini kemudian dibagi menjadi lima
tipe cirri pelaku dan tujuan, yaitu 1) pelanggaran individu sebgai individu, 2)
pelanggaran pegawai terhadap majikan, 3) pelanggaran pejabat pembuat keibjakan
untuk kepentingan umum, 4) pelanggaran agen korporasi terhadap kepentingan
umum, dan 5) pelanggaran oleh pedagan terhadap konsumen.
Kejahatan korupsi adalah pelanggaran
yang dilakukan oleh orang-orang terhormat tadi. Kejahatan ini dapat dilakukan
oleh individu sebagai individu, atau pegawai terhadap majikannya (kasus
penggelapan). Melihat secara sepintas kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus,
tindakannya temasuk dalam kategori ini, yaitu dilakukan oleh individu sebagai
individu demi keuntungan yang dinikmati oleh individu. Namun demikian, adanya
dugaan keterlibatan para pengusaha lain, seperti Andi Kosasih, dan para
petinggi dari Kepolisian, menjadikan kasus korupsi Gayus (makelar kasus)
sebagai bentuk dari kejaharan korporasi (dilakukan oleh organisasi, dalam
bentuk struktur organisasi yang saling menguntungkan dan melindungi, serta
melempar tanggung jawab). Aksi seperti ini termasuk dalam tipe 3 dan tipe 4
yang disampaikan oleh Clinard dan Quinney, yaitu pelanggaran yang dilakukan
oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan atau pihak tertentu;
pelanggaran yang dilakukan oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum.
Berkaitan dengan hal ini, pengusaha memanfaatkan posisi Gayus untuk mempermudah
prosedural pengurusan pajak, dan bahkan melibatkan pihak kepolisian untuk
menutupi kecurangan yang telah dilakukan.
Prof. Muhammad Mustofa, memberikan
penjelasan tentang teori yang digagas oleh Sutherland, berkaitan dengan kasus
korupsi ini. Sutherland menganalisa dan menjelaskan gejala white-collar crime
dengan menggunakan teori different association. Sutherland menunjukkan bahwa
para pelaku kejahatan tersebut dalam melaksanakan pekerjaannya melakukan
pelanggaran hukum, tetapi bukan merupakan kelanjutan dari kenakalan yang pernah
dilakukan pada masa anak atau remaja. Konsep ini menunjukkan bahwa mereka
berasal dari kalangan atas yang berpendidikan. Ketika para pelaku ini belajar
masalah bisnis, pada saat itu pula lah mereka belajar tentang bagaimana cara
melakukan pelanggaran hukum (dalam different association dikatakan bahwa
kejahatan didapat dari proses belajar). Konsep bisnis dihayati sebagai sikap
untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara. Dalam melakukan
bisnis ini, sering terjadi penyelewengan hukum demi kelancaran jalannya bisnis.
Penyimpangan sengaja dilakukan untuk meningkatkan keuntungan. Misalnya pelaku
usaha yang sengaja membuat iklan terlalu berlebihan dan menyesatkan (terdapat
unsur kebohongan) agar konsumen mau membeli produk mereka. Hal ini merupakan
sebagian kecil dari banyak contoh yang memperlihatkan bentuk kecurangan dalam
perilaku bisnis. Biasanya dalam melakukan kecurangan, pelaku bisnis jarang
sekali mendapatkan kritik dari media massa, karena sejatinya media massa juga
merupakan palaku bisnis. Para pelaku bisnis terbebas dari kritik dan terbebas
dari kemungkinan diajukan ke pengadilan karena mereka mempuyai hubungan yang
erat dengan birokrasi.
Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan,
jelaslah sudah bahwa teori different association dapat dijadikan landasan
sebagai pisau untuk menjelaskan mengapa korupsi dapat terjadi dan dilakukan
oleh seorang individu. Menurut yang diberitakan dalam Republika Online, Gayus
semasa muda adalah orang yang berpendidikan, terkenal sebagai anak muda yang
baik, ramah, dan pintar dalam mengatur keuangan. Keluarganya dipandang cukup
berada pada masa itu. Selain itu, Gayus juga merupakan seorang tamatan dari
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dengan nilai yang cukup memuaskan meskipun
tidak dapat dikatakan sebagai nilai yang spektakuler. Tentunya semua kelihaian
Gayus dalam mengolah data keuangan di kantor pusat pajak ia dapatkan dari
bekalnya menuntut ilmu tersebut. Akan tetapi kemahiran dalam melakukan
pelanggaran hukum didapatkan di lapangan, setelah ia terjun langsung dalam
dunia perpajakan dan bisnis (dalam hal ini bisnis diartikan sebagai kegiatan
usaha individu yang terorganisasi untuk mendapatkan laba/keuntungan).
Tidak hanya kepada Gayus, teori ini
juga dapat ditunjukkan kepada pelaku usaha yang bekerja sama dengan Gayus
Tambunan. Semua pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku bisnis, sesuai
dengan teori tersebut, merupakan hasil belajar dari pengalaman, belajar di
lapangan, yang terpicu karena penghayatan pelaku bisnis yang memaknai kegiatan
mereka adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Atas dasar ini, pelanggaran
hukum telah menjadi suatu kebiasaan, atau bahkan mereka terisolasi dari
pengertian yang menegaskan bahwa pelanggaran hukum yang mereka lakukan adalah
salah.
Adanya faktor tuntutan dari konsep
keluarga besar yang ada dalam masyarakat Indonesia, wewenang yang dimiliki
(kekuasaan), tuntutan bisnis dan keuntungan pribadi, persengkokolan (korporasi)
menjadikan tindakan korupsi sebagai tindakan yang sudah biasa dan lazim saja
dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengerucutkan semua
faktor-faktor yang ada tersebut, semuanya kembali kepada hati nurani dan
keimanan seseorang dalam mengambil sikap dan melaksanakan amanah yang mereka
emban.
Kesimpulan dan Saran
Korupsi adalah kejahatan atau
penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana
tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.
Korupsi pada dasarnya dapat terjadi
kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua kalangan di dalam
masyarakat. Namun dengan mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, korupsi yang
sangat merugikan ini sering kali terjadi di kalangan atas, kau elite, dan para
pejabat yang memiliki kekuasaan dan posisi yang strategis.
Korupsi muncul bukan tanpa sebab.
Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang
membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh
jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan
yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh
individu maupun kelompok, dan dilaksanakan baik sebagai kejahatan
individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi
(dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan
keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi
dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis
kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.
Korupsi juga dapat terjadi karena
kurangnya kesadaran untuk mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. Ketika di
dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia yang menjujung tinggi konsep keluarga
besar menjadi sebuah faktor individu untuk berada di situasi yang sulit dalam
menutupi kekurangan ekonomi, pengaruh-pengaruh dari keluarga dan kerabat dapat
menyebabkan munculnya sikap untuk melakukan kecurangan dan pelanggaran hukum.
Individu yang melakukan korupsi gagal dalam memilah antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan umum. Korupsi terjadi karena hilangnya rasa tanggung jawab
dan rasa malu di dalam diri pelakunya.
Korupsi juga tidak datang begitu saja
di pikiran seorang pelaku. Dia dipahami seabagai suatu tindakan melanggara
hukum dan diperoleh melalui proses belajar. Sesuai dengan teori different
association, kemungkinan terbesar aksi pelanggaran hukum ini dipelajari ketika seseorang
mulai belajar melakukan bisnis atau usaha untuk mencari keuntungan. Semakin
kuatnya paham setiap pelaku bisnis bahwa mendapatkan keuntungan (materil)
adalah tujuan utama dari suatu bisnis, menyebabkan pelangaran hukum, seperti
korupsi, menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan. Selain itu, semakin
bertambahnya anggota yang memiliki paham yang sama tentang keuntungan tersebut,
menjadikan korupsi sebagai lahan untuk mencari uang sehingga membuka lebar
untuk terjadinya tindakan kejahatan korporasi.
Semua faktor-faktor itu sangat
mempengaruhi diri individu untuk melakukan kejahatan: korupsi. Hal ini
disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya tanggung jawab moral bagi
mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan sebagai
mimpi dan harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan
rasa tanggung jawab moralnya adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk
mencegah dan menghentikan korupsi di negeri ini. Pendidikan agama dan aksi
memperkuat iman adalah metode yang mesti ditingkatkan demi mendapatkan
orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja demi kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat.
Daftar Pustaka
Mustofa, Muhammad. kleptokrasi:
Persengkongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola White-Collar Crime di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu
Politik, cetakan ke duapuluh tujuh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005
Suradika, Agus. RELASI KORUPSI DAN
KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan Penanggulangannya, http://www.docstoc.com/docs/5936230/Agus-Suradika-Korupsi-dan-Kekuasaan, diakses tanggal 7 Desember, 2010
Djafar, Wahyudi. Perselingkuhan
Birokrasi dan Korupsi, http://www.legalitas.org/content/perselingkuhan-birokrasi-dan-korupsi, diakses tanggal 7 Desember, 2010
Nasution, S. A. Korupsi dan kekuasaan, kolom Opini. Waspada Online. http://www.waspada.co.id/index.php/images/flash/index.php?option=com_content&view=article&id=81290:korupsi-dan-kekuasaan&catid=25:artikel&Itemid=44, diakses tanggal 7 Desember, 2010.
Rastika, Icha. Andi Kosasih Dituntut 10
Tahun. Kompas.com 23 November 2010. http://nasional.kompas.com/read/2010/11/23/16344531/Andi.Kosasih.Dituntut.10.Tahun, diakses tanggal 7 Desember, 2010.
Taufiqqurahman, Muhammad. Mencari Jejak
Gayus Tambunan di Warakas. detikNews 24 Maret 2010. http://www.detiknews.com/read/2010/03/24/104528/1324145/10/mencari-jejak-gayus-tambunan-di-warakas, diakses tanggal 7 Desember 2010.
Kompas. Jago Keuangan dari
Warakas. http://koran.republika.co.id/koran/0/106988/Jago Keuangan
dari Warakas, diakses tanggal 7 Desember 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar