ABSTRAK
MAKALAH
ANTISIPASI
DAMPAK PEMANASAN GLOBAL
DARI ASPEK TEKNIS PENATAAN RUANG[1]
[1] Makalah ini disajikan
dalam Seminar Nasional tentang Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil Ditinjau dari Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir yang
diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) di Jakarta, 30 – 31 Oktober 2002
OLEH
DIREKTUR
JENDERAL PENATAAN RUANG -
DEPARTEMEN
PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH
I. Pengertian
tentang Penataan Ruang, Wilayah Pesisir, dan Pemanasan Global, serta
Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya.
1. Berdasarkan UU No.24/1992,
pengertian penataan ruang tidak terbatas pada proses perencanaan tata ruang
saja, namun lebih dari itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Perencanaan
tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi : Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta
rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci ; pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata
ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan
pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan
penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW-nya.
Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen
yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah.
2. Rencana tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk
intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan
lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya
kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan
keberlanjutan pembangunan (development
sustainability).
3. Aspek teknis penataan ruang dibedakan berdasarkan hirarki
rencana. RTRWN merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang
dengan horizon waktu hingga 25 - 50 tahun ke depan dengan menggunakan skala
ketelitian 1 : 1,000,000. RTRW Propinsi merupakan perencanaan makro
strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala
ketelitian 1 : 250,000. Sementara, RTRW Kabupaten dan Kota
merupakan perencanaan mikro operasional jangka menengah (5-10 tahun)
dengan skala ketelitian 1 : 20,000 hingga 100,000, yang kemudian diikuti dengan
rencana-rencana rinci yang bersifat mikro-operasional jangka pendek
dengan skala ketelitian dibawah 1 :
5,000.
4. Kawasan
pesisir pada
dasarnya merupakan interface antara
kawasan laut dan darat yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama
lainnya, baik secara bio-geofisik maupun sosial-ekonomi. Kawasan ini terdiri
dari habitat dan ekosistem yang menyediakan barang dan jasa (goods and services) bagi komunitas
pesisir dan pemanfaat lainnya (beneficiaries).
Bagi
Indonesia sebagai negara kepulauan, pesisir merupakan kawasan strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan
kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover
pembangunan nasional. Karakteristik wilayah pesisir Indonesia diantaranya
adalah :
·
Meliputi
81,000 km panjang garis pantai dengan 17,508 pulau yang sangat
beraneka ragam karakteristiknya.
·
Dihuni
tidak kurang dari 110 juta jiwa atau
60% dari penduduk Indonesia yang
bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai.[1]
Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi
Indonesia pada masa yang akan datang.
·
Terdapat
47 kota pantai mulai dari Sabang
hingga Jayapura sebagai pusat pelayanan aktivitas sosial-ekonomi pada 37
kawasan andalan laut sekaligus sebagai pusat pertumbuhan kawasan pesisir.
·
Mengandung
potensi sumber daya kelautan yang sangat kaya, seperti (a) pertambangan dengan diketahuinya 60 cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta
ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia
dengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi (natural biodiversity).
·
Wilayah
ini merupakan sumber daya masa depan
(future resources) dengan
memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara
optimal. Sebagai contoh, dari keseluruhan potensi sumber daya perikanan yang ada maka secara agregat
nasional baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.
Sementara itu, ditinjau dari nilai
investasi yang masuk, maka besaran investasi domestik dan luar negeri pada
bidang kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari
total investasi di Indonesia.
·
Pesisir
merupakan kawasan perbatasan
antar-negara maupun antar-daerah yang sensitif yang memiliki implikasi terhadap
pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
1. Pemanasan
global (global warming) pada dasarnya merupakan
fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya
efek rumah kaca (greenhouse effect)
yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2),
metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi
matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan
kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40
Celcius pada akhir abad 21.[2]
1. nasional,[1]
dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS
Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada
pangan di Indonesia.[2] Adapun daerah-daerah di Indonesia yang
potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1
berikut.
1. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi
lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut,
perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya
flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan
dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi
masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan
kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan
jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d)
pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan
wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi
terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea
level rise) dan banjir.
II. Dampak
Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik
dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.
2. Walaupun dampak kenaikan
permukaan air laut dan banjir yang sesungguhnya masih menjadi debat dalam dunia
riset, dalam makalah ini dapat dikemukakan skenario kenaikan muka air laut
yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (1990),
dimana disebutkan adanya 3 (tiga) skenario kenaikan permukaan air laut (sea level rise). Beberapa studi yang dilakukan untuk
Indonesia menggunakan skenario moderat yakni kenaikan sebesar ± 60
cm hingga akhir abad 21 sebagai pijakan. Adapun skenario tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel
1
Perkiraan
Kenaikan Permukaan Air Laut (dalam cm)
Skenario Sea Level Rise
|
1990
|
2030
|
2070
|
2100
|
Rendah (low)
|
0
|
8
|
21
|
31
|
Rata-Rata (average)
|
0
|
18
|
44
|
66
|
Tinggi (high)
|
0
|
29
|
71
|
110
|
Sumber : IPCC Skenario-A (1990)
3. Kenaikan muka air laut secara
umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan
intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove,
(c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi
masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya
pulau-pulau kecil.
1. Meningkatnya frekuensi dan
intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim
hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim).
Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas
banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana
80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk
Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi.[1]
Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif
apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan
terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
2. Kenaikan muka air laut selain
mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya
ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat
mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di
Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi
3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun
waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula.
Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi
pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran
dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona
budidaya aquaculture pun akan
terancam dengan sendirinya.
3. Meluasnya intrusi air laut
selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh
terjadinya land subsidence
akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan
pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50%
dari luas wilayah Jakarta Utara.
Gangguan
terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah :
(a) gangguan terhadap jaringan jalan
lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ;
(b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang
berada pada wilayah Pantura Jawa,
Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya,
dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti
sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar
atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’
apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya
berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah
2. Terancam berkurangnya luasan
kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai
angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut
yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir
abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.[3]
3. Bagi Indonesia, dampak kenaikan
muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis
yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data
yang dihimpun dari The Georgetown –
International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun
waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar
di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000)
menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada
periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka
kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu,
meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta
memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
III. Antisipasi
Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional
Dengan
memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi
waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi
sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek
legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU
No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai
pada masa yang akan datang.
[1] Dengan
kondisi pangan saat ini, Indonesia telah menjadi negara importir pangan dengan
nilai sebesar Rp.16,62 trilyun (2000), sementara pada tahun 2035 diperkirakan
tambahan ketersediaan pangan nasional lebih dari 2 x jumlah kebutuhan saat
ini.. Dan apabila sentra-sentra pangan nasional tidak dapat dipertahakan
keberadaannya , maka Indonesia
akan menjadi nett importir pangan yang sangat besar pada masa mendatang.(Siswono, 2001)
1. Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a)
arahan kebijakan dan kriteria
pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan
rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria
pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan,
pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang
wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional
dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan
transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku)
2. Sesuai dengan dinamika
pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya
kebutuhan untuk mengkajiulang (review)
materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu
dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3
pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang
RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan
strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :
(1) globalisasi ekonomi dan implikasinya,
(2) otonomi daerah dan implikasinya,
(3) penanganan kawasan perbatasan
antar negara dan sinkronisasinya,
(4) pengembangan kemaritiman/sumber
daya kelautan,
(5) pengembangan kawasan
tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
(6) daur ulang hidrologi,
(7) penanganan land subsidence,
(8) pemanfaatan jalur ALKI
untuk prosperity dan security, serta
(9) pemanasan global dan berbagai dampaknya.
2. Berdasarkan studi yang dilakukan
oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan
akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura
Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat
Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua
3. Untuk
kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota
pantai yang
memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan
kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi
kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman
dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan,
Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya,
Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa
Tabel 1 pada Lampiran)..
4. Kawasan-kawasan fungsional yang
perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir
meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal.
(selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).
5. Perhatian
khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria
pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan
perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka
air laut dan banjir, seperti :
(1) sebagian
ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung
sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa
(dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900
km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga
Bulukumba sepanjang ± 250 km).
(2) beberapa
pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta),
Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan
Makassar.
(3) Jaringan
irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur
dan Sulawesi bagian Selatan.
Beberapa
Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan
Semarang.
1. Untuk kawasan lindung
pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka
alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan
pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai
kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.
2. Selain antisipasi yang bersifat
makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air
laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro,
maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya
dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan
oleh IPCC (1990) sebagai berikut :
·
Relokasi ; alternatif ini dikembangkan
apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir
sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis
pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari
sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
·
Akomodasi ; alternatif ini bersifat
penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi
seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture
menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi
tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi
keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
·
Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan,
yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang
(breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft
structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach
nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam,
alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan
proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature”.
3. Sedangkan
untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk
sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar
alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis
atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang
bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk
pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat
flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.
Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan
kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung
pada bagian
IV. Kebutuhan
Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak
Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
2. Dalam kerangka kebijakan
penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat
dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil. Namun demikian,
selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang
berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.
3. Intervensi kebijakan penataan
ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :
·
Mewujudkan
pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai
dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga
fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
·
Mengurangi
kerentanan (vulnerability) dari
kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants)
dari ancaman kenaikan muka air laut,
banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural
hazards) lainnya.
·
Mempertahankan
berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan
keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai
melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
Untuk
mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan
dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk
percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan
pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan
kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan
ruang kepada masyarakat melalui public
2. Selanjutnya, untuk dapat
mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi
daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
a. Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral
dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta
konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata
ruang kawasan pesisir.
b. Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran
masyarakat (participatory planning
process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif
terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
c. Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten
maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta
antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan
pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus
reduksi potensi konflik lintas wilayah
d. Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen –
baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan
untuk terlaksananya role sharing yang
‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.
V. Penutup.
Sebagai negara kepulauan, maka
dampak yang akan dialami oleh Indonesia diperkirakan akan sangat besar terhadap
kondisi bio-geofisik dan sosial-ekonomi masyarakat. Dengan demikian, Pemerintah perlu mulai
memikirkan pengembangan skenario, konsep, dan kerangka kebijakan terpadu pada
tingkat makro dan mikro dalam rangka antisipasi dini terhadap dampak yang
mungkin terjadi. Penataan ruang merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk
pengembangan skenario, konsep dan kerangka kebijakan dimaksud
Sedangkan pada tataran mikro,
RTRW Kabupaten, Kota maupun Kawasan merupakan instrumen kebijakan dan landasan
implementasi terpadu dalam pengelolaan kawasan pesisir mulai dari hulu (upstream) hingga hilir (downstream).
Dukungan
penyiapan NSPM, sistem informasi dan peta-peta bagi penataan ruang dan
pengelolaan sumber daya pada kawasan pesisir adalah sangat penting. Terlebih
bila dikaitkan dengan dinamika otonomi daerah, dimana daerah-daerah diharapkan
dapat menyiapkan diri sejak dini serta dapat merumuskan kebijakan pembangunan
dan pengelolaan sumber daya pada kawasan pesisir-nya masing-masing secara
tepat.
Daftar Pustaka
Amano,
A., Global Warming and Economic Growth ;
Modelling Experience in Japan, Center for Global Environmental Research,
National Institute for Environmental Studies, Environment Agency of Japan, May
1992.
Asian
Development Bank, Climate Change in Asia
; Indonesia Country Report on Socio-economic Impacts of Climate Change and a
National Response Strategy, Regional Study on Global Environmental Issues,
July 1994
Center
for Global Environmental Research, Data
Book of Sea Level Rise, National Institute for Environmental Studies,
Environment Agency of Japan, 1996
Diposaptono
S., Pengaruh Pemanasan Global terhadap
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Direktorat Bina Pesisir –
Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - DKP, 2002.
Dirjen
Penataan Ruang – Depkimpraswil, Kebijakan
Kimpraswil dalam rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan,
Makalah pada Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun
2002, Hotel Indonesia – Jakarta, 30 Mei 2002.
Ditjen
Penataan Ruang – Depkimpraswil, Review Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional :
Kebijakan Spasial untuk Pengembangan Kemaritiman Indonesia, Bahan
Sosialisasi RTRWN dalam rangka Roadshow dengan Departemen Kelautan dan
Perikanan, Jakarta, 11 Oktober 2002.
Kementerian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Tanya-Jawab
tentang Isu-isu Perubahan Iklim, Jakarta, 2001
Newsweek,
The Truth about Global Warming,
Article on Science and Technology, Edition July 23, 2001.
The
State Ministry of Environment – The Republic of Indonesia, Vulnerability and Adaptation Assessments of Climate Change in Indonesia,
Indonesia Country Study on Climate Change, Jakarta, 1998.
Siswono,
Y., KAPET dan Peningkatan Produksi Pertanian, Butir-butir Bahan Masukan
pada Acara Temu Usaha dan Diklat Sumber Daya Manusia KAPET, Mataram, 26 Oktober
2001
____, Pemanasan Global harus Diantisipasi,
Rubrik Lingkungan Harian Media Indonesia, Edisi Rabu, 16 Oktober 2002.
Tabel
1
Kota
Pantai – Pusat Pertumbuhan Kelautan dan Perikanan
No
|
Kawasan
Laut
|
Kota
Pantai
|
No
|
Kawasan
Laut
|
Kota
Pantai
|
1
|
Sabang
dsk
|
Sabang
; Meulaboh
|
20
|
Bunaken
dsk
|
Manado
|
2
|
Nias
dsk
|
Sibolga
|
21
|
Toli-Toli
dsk
|
Toli-Toli
|
3
|
Siberut
dsk
|
Padang
|
22
|
Sumba
dsk
|
Ende
|
4
|
Selat
Malaka
|
Tanjung
Balai ; Bagansiapi-api
|
23
|
Pulau
Laut dsk
|
Kotabaru
|
5
|
Lhokseumawe
dsk
|
Lhokseumawe
; Medan Belawan
|
24
|
Teluk
Tomini dsk
|
Gorontalo
|
6
|
Batam
dsk
|
Karimun
; Batam ; Kuala Enok
|
25
|
Teluk
Tolo dsk
|
Luwuk
|
7
|
Bengkulu
dsk
|
Manna
|
26
|
Kep.
Tukang Besi dsk
|
Baubau
|
8
|
Krakatau
dsk
|
Kalianda
|
27
|
Teluk
Bone dsk
|
Sinjai
|
9
|
Kep.
Seribu dsk
|
Jakarta
; Indramayu
|
28
|
Singkarang
dsk
|
Pare-Pare
; Makassar
|
10
|
Bangka-Belitung
dsk
|
Pangkal
Pinang
|
29
|
Selat
Makassar dsk
|
Mamuju
|
11
|
Natuna
dsk
|
Singkawang
|
30
|
Sawu
dsk
|
Kupan
|
12
|
Ketapang
dsk
|
Ketapang
|
31
|
Flores
dsk
|
Manggarai
|
13
|
Kuala
Pembuang dsk
|
Banjarmasin
|
32
|
Batutoli
dsk
|
Ternate
|
14
|
Cilacap
dsk
|
Cilacap
|
33
|
Banda
dsk
|
Ambon
|
15
|
Bali
dsk
|
Denpasar
|
34
|
Arafura
dsk
|
Tual
|
16
|
Karimun
Jawa dsk
|
Semarang
; Tegal
|
35
|
Sorong
dsk
|
Sorong
|
17
|
Madura
dsk
|
Sumenep
; Pasuruan ; Surabaya
|
36
|
Cendrawasih
dsk
|
Biak
|
18
|
Bontang
dsk
|
Samarinda
|
37
|
Jayapura
dsk
|
Jayapura
|
19
|
Tarakan
dsk
|
Tanjung
Redeb
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar